Pengetahuan Produk

08 October 2020

Sertifikasi Organik

Oleh : Luh Putu Budiarti


Dalam dekade terakhir ini, permintaan pangan berkualitas, sehat dan aman dikonsumsi, serta ramah terhadap lingkungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan data kebutuhan akan pasar produk organik, kebutuhan dunia akan Produk Organik mencapai lebih dari $ 20 milyar dengan peningkatan rata-rata sebesar 20%/th. [1]

Total luas areal tanaman organik di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai lebih dari 225 ribu ha, dan baru sekitar 90 ribu ha atau sekitar 40% yang telah tersertifikasi atau mendapatkan sertifikat organik baik dari Lembaga sertifikasi organik (LSO) nasional dan internasional. Diharapkan dengan sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan, dan akses pasar yang baik maka jumlah luas areal organik yang disertifkasi akan terus meningkat. Dilaporkan pula bahwa dari total areal organik yang telah disertifikasi, hanya sekitar 25% telah sertifkasi oleh LSO nasional. Sudah sejak lama LSO Internasional melakukan sertifikasi beberapa komoditas perkebunan, diantaranya adalah kopi organik Gayo, Nanggro Aceh Darussalam yang sudah lama dikenal di manca negara.

Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap produk organik yang mempunyai nilai tambah yang cukup nyata, maka muncul pelaku usaha yang melakukan tindak tindakan yang tidak terpuji dengan melabel dan menjual produk konvensional mereka sebagai produk organik. Untuk menekan kerugian masyarakat konsumen produk organik, maka Pemerintah dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional bersama-sama dengan Otoritas Kompeten Pertanian Organik (OKPO) telah mensosialisasikan aturan sertifikasi dan mengharuskan bagi semua pelaku usaha pertanian organik untuk mensertifkasikan semua produk organiknya ke Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) nasional yang telah terakreditasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) ataupun LSO Internasional. Sampai saat ini di Indonesia ada delapan LSO yang terdaftar dan terakreditasi oleh KAN antara lain Sucofindo, MAL, INOFICE, Sumbar, Lesos, Biocert, Persada, dan SDS[2]

Pelaku usaha/poktan/gapoktan yang ingin mengajukan sertifikasi organik, harus mengacu pada standar dan peraturan dimaksud, sehingga integritas keorganikan produk diakui, baik nasional maupun internasional. Pelaku usaha agribisnis di Indonesia sebagian besar merupakan pelaku usaha berskala kecil, sehingga penerapan sistem pertanian organik menghadapi kendala baik dari segi penerapannya maupun sertifikasinya. Untuk mengatasi kendala biaya sertifikasi yang cukup memberatkan bagi pelaku usaha organik yang pada umumnya berskala kecil-menengah, sertifikasi organic dapat dilakukan secara berkelompok. Salah satu persyaratan sertifikasi organik berbasis kelompok adalah penerapan Sistem Kendali Internal (SKI)/Internal Control System (ICS).

1. Alur / Mekanisme
Dalam proses sertifikasi, ada lima tahapan kegiatan yang perlu dilaksanakan antara lain:

  • Pengajuan permohonan sertifikasi produk organik oleh pelaku usaha bisa melalui pendaftaran secara on line ataupun langsung datang ke LSO sekaligus menyertakan lingkup sertifikasi yang diinginkan oleh Pelaku Usaha.
  • Selanjutnya LSO akan memberikan formulir pendaftaran yang harus diisi dan dikirimkan kembali oleh Pelaku Usaha ke LSO untuk dilakukan audit kecukupan oleh LSO.
  • Apa bila hasil audit menyatakan cukup dan layak, maka LSO akan memberikan penawaran biaya sertifikasi sekaligus memberikan jadwal dan nama petugas inspektor yang akan melakukan inspeksi.
  • Pelaksanaan inspeksi dilakukan sesuai dengan SNI 6729:2013 yang terdapat pada Lampiran C yang intinya ada dua kegiatan utama antara lain pelaksanaan audit dokumen dan inspeksi lapang. Tugas utama dari Inspektor adalah memotret dan merekam semua proses sistem organik yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. Apabila ada hal-hal yang kurang sesuai dengan SNI 6729:2013 maka akan dicatat dalam lembaran ketidak sesuaian (LKS) dan diberikan ke Pelaku Usaha untuk diperbaiki.
  • Hasil inspeksi di lapang dan tindakan perbaikan oleh Pelaku Usaha akan dipresentasikan oleh Inspektor di Sidang Komisi Sertifikasi untuk mendapatkan keputusan lulus atau tidaknya proses sertifikasi dari Pelaku Usaha. Apabila Komisi Sertifikasi meluluskan, maka LSO akan menerbitkan sertifikat kelulusan yang berlaku tiga tahun dan sertifikat tersebut akan diserahkan oleh Pimpinan LSO kepada pelaku usaha sekaligus pemberian hak penggunaan logo Organik Indonesia. Sertifikat Organik berlaku selama tiga tahun dan minimal sekali setahun dilakukan surveilen.

Masalah utama sertifikasi yang sering dijumpai selama proses sertifikasi antara lain:

  • Keragaman pemahaman Pelaku Usaha akan SNI 6729 tentang Sistem Pertanian Organik sehingga untuk pengisian formulir harus dibantu oleh LSO.
  • Dokumen sistem mutu atau company profile yang merupakan acuan pelaku usaha untuk berbudidaya organik seringkali tidak konsisten dan berbeda dengan tindakan yang dilaksanakan di lapang. Pembuatan dokumen atau SOP harus sesuai dan sama dengan seluruh kegiatan yang dilaksanakan di lapang. Kurangnya catatan atau rekaman dari proses berbudidaya, menyebabkan Inspektor tidak bisa memantau kegiatannya secara benar dan lengkap.
  • Peta lokasi dan peta lahan yang dibuat tidak jelas dan tidak ada atau kurangnya keterangan atau legenda terutama lahan diluar lahan organik yang bersifat konvensional yang berbatasan dengan lahan organik.
  • Border lahan organik seringkali tidak memadai, sehingga berpotensi terjadinya pencemaran baik melalui air maupun udara. Untuk itu diperlukan areal border yang cukup memadai, sehingga terjadinya pencemaran baik melalui air dan udara tidak terjadi. Untuk mengendalikan pencemaran pestisida melalui udara, diperlukan tanaman atau bangunan penghalang (barrier) yang berfungsi mencegah dan mengurangi adanya pencemaran pestisida melalui udara.
  • Air pengairan yang menjadi sumber utama dari lahan organik yang berasal dari perairan umum atau limpahan dari lahan konvensional seringkali menjadi salah satu penyebab tercemarnya lahan organik. Dalam SNI Pertanian Organik diizinkan penggunaan air yang berasal dari perairan umum tetapi harus melalui kolam penyaringan alami terutama dengan menggunakan tanaman eceng gondok.
  • Masa konversi atau sejarah lahan dari lokasi organik yang belum memenuhi persyaratan minimal. Untuk tanaman tahunan diperlukan masa konversi selama tiga tahun, sedangkan untuk tanaman semusim diperlukan masa konversi yang lebih singkat yaitu dua tahun. Pembuatan sejarah lahan diperlukan pengesahan dari institusi yang kompeten dan bertanggung jawab, bisa melalui Kepala Desa, Kecamatan ataupun Kepala Dinas Pertanian yang diketahui oleh Petugas Penyuluh Pertanian setempat.
  • Bagi pelaku usaha yang memproduksi produk organik bersama dengan produk konvensional, diperlukan persyaratan yang lebih ketat untuk menghindari adanya pencemaran dan tercampurnya produk organik. Pelaku usaha yang memproduksi produk organik dan konvensional harus didukung dengan SOP yang benar dan akurat untuk menghindari adanya pencemaran atau tercampurnya produk organik dan konvensional.
  • Untuk produk organik yang belum mempunyai pasar khusus dan dijual ke pasar tradisional, pada umumnya tidak akan mendapatkan nilai tambah dan margin keuntungan dari produk organik yang dihasilkan, menyebabkan Pelaku Usaha tidak mampu menabung dan melakukan surveilen yang harus dilaksanakan setiap tahun sekali.
  • Bagi Pelaku Usaha yang mempunyai pasar khusus dan harganya cukup baik, berpotensi pula terjadinya penjualan produk dengan label organik yang berasal dari lahan non organik atau konvensional. Untuk itu diwajibkan bagi pelaku usaha untuk membuat rekaman produksi dan penjualan di tiap petani dan di tingkat kelompok tani (Poktan).
  • Ada beberapa Poktan atau Gapoktan yang menerapkan sistem pengawasan internal (ICS) namun belum melaksanakan persyaratan pokok ICS itu sendiri, sehingga berpotensi melanggar SNI Pertanian Organik dan bisa dicabutnya sertifikat keorganikannya. Untuk itu, bagi Poktan atau Gapoktan yang jumlah petani atau luas arealnya tidak besar, tidak perlu menerapkan ICS.
  • Walaupun etika inspektor harus memegang rahasia perusahaan/Pelaku Usaha, namun masih ada beberapa Pelaku Usaha yang tidak terbuka dan tidak mau menyampaikan bahan dan komposisi pupuk/pestisida organik yang digunakan untuk pembuatan pupuk/pestisida organik yang akan disertifikasi, sehingga dengan terpaksa LSO tidak akan meluluskan karena dikhawatirkan adanya penggunaan bahan yang dilarang oleh SNI 6729: 2013.

2. Biaya

Saat ini biaya sertifikasi organik berkisar antara Rp 15 juta sampai Rp 40 juta, bergantung kondisi lahan kebun dan pertaniannya.

3. Manfaat

Ada beberapa manfaat lain dari program sertifikasi antara lain:

  • Memberi jaminan terhadap produk PO yang tersertifikasi dan memenuhi persyaratan sistem PO nasional (SNI 6729:2013) dan internasional (Codex & IFOAM) dengan kewajiban memasang logo Organik Indonesia yang pada setiap kemasan produk organik.
  • Melindungi konsumen dan produsen dari manipulasi atau penipuan produk PO yang tercela dan memiliki ancaman tindak pidana bagi pemalsu produk organik.
  • Menjamin praktek perdagangan yang etis dan adil baik bagi produsen maupun konsumen produk organik.
  • Memberikan nilai tambah pada produk organik dan mendorong meraih akses pasar baik di dalam maupun di luar negeri.
  • Mendukung Program Go Organik Indonesia yang telah diluncurkan sejak tahun 2010 yang lalu mendukung Indonesia sebagai produsen pertanian organik utama dunia.

Secara umum, proses sertifikasi pertanian organik di Indonesia termasuk, mudah, namun demikian, kurangnya pemahaman dan beragamnya kesiapan para calon produsen atau pelaku usaha pertanian organik terhadap butir-butir aturan yang terdapat di dalam SNI Pertanian Organik yang menyebabkan terhambatnya proses sertifikasi tersebut. Materi SNI 6729:2013 dengan mudah dapat diunduh dari www.bsn.go.id, atau langsung bisa mendapatkan dari LSO pada saat pendaftaran.

 

[1] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek pertanian organik di Indonesia http://www.litbang.deptan.go.id/ berita/one/17

[2] Hidayat A. 2014. Sertifikasi pertanian Organik. Prosiding Prinsip-prinsip dan Teknologi Pertanian Organik. IAARD Press. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. hlm. 13-16.

PROFIL PENULIS
Luh Putu Budiarti

Daftar Artikel