Pengetahuan Produk

17 November 2020

Bale Timbang, Pura Subak dan Tugu (Pelinggih ) di Persawahan, Akankah Tetap Bisa Eksis di Zaman Millenial Ini?

Oleh: Istri Darmiyati

Bali, memang unik. Suka atau tidak, itulah yang sudah  diakui dunia.

Semua aspek kehidupan masyarakat Hindu Bali sangat berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, seni dan budayanya. Semuanya menjadi  satu kesatuan yang harmonis yang menciptakan suatu keindahan, baik itu alamnya yang asri karena ditanami banyak pohon bunga dan buah, maupun seni tari, lukisan, pahatan, yang mengandung banyak simbol.

Demikian juga dalam pertanian, hubungannya dengan Agama Hindu, sangatlah kental.

Konsep Tri Hita Karana  (tiga penyebab terciptanya kebahagiaan ), yang dikenal dalam agama Hindu yaitu:

  1. Menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam (Palemahan)
  2. Menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia (Pawongan)
  3. Menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, termasuk para dewa yang merupakan sinar suci-NYA ( Parhyangan)

Semua itu tertuang dalam  sistem pengairan areal pertanian, yang dikenal dengan nama SUBAK. Areal persawahan di mana sistem pengairan itu dibentuk, merupakan simbol dari Palemahan, kemudian para anggota subak (para petani ) merupakan simbol Pawongan. Parhyangan diwakili oleh beberapa pura (tempat suci) yang ada kaitannya dengan pertanian, seperti Pura Subak, Pura Ulun Suwi, termasuk  Pura Ulun Danu, dan sebagainya.

Karena itulah, kita akan melihat ada beberapa pura di tengah areal persawahan yang dimiliki oleh setiap  kelompok Subak.

Juga ada  tugu- tugu kecil yang disebut Pelinggih, di setiap petak sawah sesuai dengan kepemilikan petak-petak sawah tersebut. Pelinggih-pelinggih itu ada yang dibuat secara permanen dengan semen, ada pula yang sederhana terbuat dari bambu ataupun batang pohon Dadap.

Semua kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan pertanian di suatu area, akan diselenggarakan di Pura Subak masing- masing. Sedangkan Pelinggih adalah tempat menghaturkan sesajen bagi pemilik masing-masing sawah. Biasanya, dilakukan pada saat mulai menanam, saat padi mulai keluar bulirnya, dan menjelang panen. Yang dipuja adalah  Dewi Danu, Dewi Sri, Dewi Uma, dan  Dewa Wisnu.

Dalam hubungan dengan manusia, ada suatu bangunan di areal persawahan, berupa suatu tempat yang sangat sederhana, mirip dengan Bale Bengong, tetapi sangat kecil, yang disebut dengan  BALE TIMBANG.

Bale Timbang ini merupakan tempat bagi kelompok petani untuk bertemu dan membicarakan beberpa hal terkait dengan sawah-sawah mereka. Misalnya kapan akan membersihkan rumput-rumput serta tanaman liar sehabis panen, kapan mulai menanam, bagaimana pembagian air, dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri, di zaman yang semakin berkembang, dan  jumlah manusia yang semakin banyak, membuat banyak lahan pertanian termasuk persawahan beralih fungsi, menjadi perumahan dan bangunan lainnya. Banyak pemilik lahan menjual tanah/sawah mereka dengan alasan sudah tidak produktif lagi, atau beralih profesi. Atau merasa bahwa  hasil dari bertani tidak bisa memakmurkan mereka dan keluarganya.

Andai di suatu area Subak terjadi perubahan secara masif, semua sawah berubah jadi bangunan, lalu bagaimana keberadaan Pura Subak,Tugu dan Bale Timbang?

Akankah kita menjadi penonton akan hilangnya kearifan lokal, warisan dari leluhur yang luar biasa ini?

Semoga Yayasan Bali Kuna Agri bisa cepat menyelamatkan warisan leluhur ini dan bisa meningkatkan kesejahteraan para petani, sehingga tidak ada lagi keinginan mereka menjual lahan-lahan mereka.

Semoga apa yang menjadi visi-misi Bali Kuna Agri, bisa segera terwujud.

Profil Penulis: Istri Darmiyati

Editor: Desak Pusparini

Daftar Artikel